Mereka adalah Seniman Jalanan
Bergelut di jakarta mencari kerja, menjadikan saya akrab dengan angkot, kopaja, kopata, metro mini, sampe bis AC ekonomi. Bukan hanya debu, keringat, panas matahari, air mineral yang setia menemani, tapi juga beragam macam seniman jalanan. Pengamen (dari anak kecil sampai kakek) adalah yang paling banyak ditemui. Pengamen dari yang pakai gitar, kentrung, kicik-kicik, sampai yang sekedar bermodal tangan kosong. Teman dari jogja menasehatkan, beri saja uang receh, 500 rupiah. Biar tidak dipelototi, biar tidak lama-lama dipandangi tatapan (yang kadang seram dan mengintimidasi) dari sang penghibur. Maka itu, dari jogja saya memang menyiapkan banyak recehan untuk hal satu ini.
Kemarin, hari sabtu (31/10/2009) saya menemukan musisi jalanan yang bukan biasanya. Bukan pengamen. Tapi penyair. Menaiki bus AC16 dari Taman Suropati ke Lebak Bulus, saya dihibur oleh seorang penyair. Mungkin lazim dan biasa untuk yang sudah lama menghuni ibukota, tapi jujur saja itu yang pertama bagi saya. Puisi berjudul “sebutir pasir” dideklamasikan dengan cara yang lazim dilakukan dalam deklamasi. Tanpa teks, dengan melibatkan permainan tinggi rendah suara, keras lirih dan intonasi, menjadikan deklamasi dengan bumbu-bumbu tersebut nyaman untuk dinikmati, walau hanya tontonan selama mungkin 5 menit saja.